Belajar dari Kongsi Masyarakat Tionghoa Kota Padang
Betrans.com Padang-Eksistensi
masyarakat Tionghoa Kota Padang telah berlangsung lama. Bermula dengan
kedatangan pedagang Tionghoa sebagai wakil Kerajaan Tiongkok. Kedatangan
pedagang ini memiliki tujuan menjalin
hubungan dagang dengan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Tiongkok yang dimaksud
kemungkinan adalah Dinasti Yuan atau Dinasti Ming. Hubungan dagang Kerajaan
Tiongkok dengan Kerajaan Pagaruyung tersebut berlangsung pada tahun 1371 hingga
1377 silam. Erniwati, sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) menyebutkan
bahwa kota yang menjadi tempat pertama yang ditempati oleh perantau asal
Tiongkok adalah kota Pariaman (Erniwati, 2019).
Aktivitas
dagang orang Tionghoa yang bermula dari Pariaman kemudian berkembang ke Padang.
Sebagian pedagang yang sukses menetap di Padang. Mereka melakukan asimilasi
dengan penduduk setempat sehingga melahirkan kelompok Tionghoa Peranakan.
Hubungan perdagangan antara orang Tionghoa dan masyarakat setempat dilandasi
semangat saling menguntungkan. Pedagang Tionghoa membeli hasil pertanian, hutan
dan tambang masyarakat Minangkabau sesuai harga pasar yang dilandasi
kesepakatan.
Dalam
melestarikan identitas budaya, orang Tionghoa terutama di kota Padang memiliki
berbagai asosiasi sebagai pemersatu etnis Tionghoa yang berasal dari latar
belakang sosial, ekonomi dan daerah berbeda perkumpulan menjadi tempat pemersatu
etnis Tionghoa di wilayah perantauan.
Perkumpulan
etnis Tionghoa kota Padang terdiri dari perkumpulan besar dikenal sebagai
kongsi gadang dan perkumpulan kecil
dikenal sebagai kongsi kecik. Kongsi besar
keanggotaanya mencakup berbagai lapis masyarakat etnis Tionghoa dengan marga
yang berbeda-beda, sedangkan kongsi kecil hanya mencakup pada persamaan satu marga
(Deci dan Sumatri, 2002). Ada perbedaan antara kongsi kecil dan kongsi besar.
Kongsi kecil tidak menjalankan kegiatan sosial dalam kegiatan pemakaman dan
keanggotaannya hanya didasari persamaan marga saja. Anggota kongsi kecil mencakup
laki-laki dan wanita Tionghoa dan berpartisipasi dalam kegiatan perkumpulannya.
Kongsi kecil dengan satu marga yaitu Himpunan Keluarga Tan dan Himpunan
Keluarga Marga Huang.
Ada kalanya kongsi kecil ini gabungan antara dua marga misalnya marga Lie-Kwee dan Tjoa-Kwa. Marga Lie-Kwee memiliki gedung perkumpulan yang dinamakan Long See Tong sedangkan Tjoa-Kwa memiliki gedung tersendiri . Kegiatan di Long See Tong biasanya berkaitan dengan kesenian seperti musik gambang. Musik gambang dapat dikatakan tradisi masyarakat Tionghoa Kota Padang. Irama gambang aransemennya dibuat seperti musik cina namun lagunya adalah lagu Minang. Alat musik yang digunakan adalah gitar, ukulele, kontrabrass dan biola. Dilansir dari rri.co.id, pelatih sekaligus Ketua Grup Gambang Himpunan Keluarga Lie-Kwee (Long See Tong) Alexander mengatakan, gambang masuk ke Kota Padang diperkirakan pada tahun 1954. Gambang dibawa sekelompok warga Tionghoa dari pencinan dengan menggunakan kapal. Namun sayang sejak orde baru berkuasa, musik ini dilarang dan memainkannya pun mesti sembunyi-sembunyi. Lain lagi dengan aktifitas Himpunan Keluarga Tjoa-Kwa yang lebih memfokuskan diri pada pelestarian barongsai sebagai olahraga dan tradisi masyarakat Tionghoa. Tim Tjoa-Kwa pernah menjadi juara satu dalam even Kejuaraan Daerah Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) Sumatera Barat tahun 2016.
Kegiatan kongsi besar fokus
pada kegiatan pemakaman. Yang menjadi anggota hanya laki-laki Tionghoa dan
berasal dari seluruh lapisan etnis Tionghoa dari agama dan profesi yang berbeda-beda.
Pelaksanaan pemakaman dilaksanakan secara gotong royong melibatkan semua
anggota.
Ada dua organisasi
besar etnis Tionghoa yang hingga saat ini masih ditemukan dan bertahan di kota
Padang yaitu Himpunan Tjinta Teman (Hok Tek Tong) yang disingkat HTT yang telah
berdiri sejak tahun 1863, dan Himpunan Bersatu Teguh (Heng Beng Tong) atau
dikenal sebagai HBT yang telah berdiri sejak tahun 1876. Fungsi organisasi
besar Tionghoa ini adalah melayani orang Tionghoa yang menjadi bagian dari anggotanya
dan masyarakat Tionghoa kota Padang yang bukan anggotanya dalam konteks sosial,
budaya dan pemakaman (Rusli, 2020).
Kongsi
besar dan kongsi kecil memiliki peran penting dalam mengikat solidaritas antara
sesama masyarakat Tionghoa di Kota Padang tanpa membedakan agama anggota kongsi.
Apabila ada anggota kongsi yang sakit atau butuh biaya sekolah anaknya maka Tuako, ketua atau pimpinan kongsi, akan
melakukan musyawarah dengan anggotanya yang lain untuk menjenguk yang sakit dan
juga meringankan anggotanya yang membutuhkan biaya sekolah.
Kekompakan dan
solidaritas yang tinggi orang Tionghoa dilandasi oleh semangat saling berbagi.
Kita perlu merenungkan kembali quote
Imam Ali Bin Abi Thalib (656-661), Khulafaur Rasyidin keempat. Jangan pernah merasa malu ketika hanya mampu
memberi sedikit untuk bersedekah, karena selalu ada kebaikan dalam berbagi,
tidak peduli seberapa kecil yang kamu berikan.
Iswadi Syahrial Nupin, S.Sos; M.M
Pustakawan Muda Universitas Andalas