Masih Relevankah Eksistensi Dewan Pers di Tengah Maraknya Kriminalisasi Wartawan Indonesia Saat Ini?
Betrans,Jakarta,Sejumlah organisasi pers dan jurnalis warga yang tergabung dalam
Sekretariat Bersama Pers Indonesia melaksanakan acara Forum Diskusi
Media bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD-RI), Rabu, 12 September 2018, bertempat di Lobby Gedung B, Kantor
DPD-RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. Tema yang diangkat
pada forum diskusi kali ini adalah Kebijakan Dewan Pers versus
Kemerdekaan Pers, dengan sebuah pertanyaan kunci: Masih relevankah
eksistensi Dewan Pers di tengah maraknya kriminalisasi wartawan
Indonesia saat ini?
Acara yang dihadiri sekitar 100 orang pekerja media ini menghadirkan 5
pembicara, yakni Pimpinan Komite 1 DPD RI, Fachrul Razi, MIP; pakar dan
praktisi hukum, Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH; Ketua Umum PPWI, Wilson
Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA; Ketua Umum SPRI, Heinjte Mandagie; dan Ketua
Presidium FPII, Kasihhati. Diskusi yang dimulai pukul 14.00 wib dan
berlangsung sekitar 4 jam dipandu oleh Edi Anwar, seorang wartawan
senior yang tergabung dalam organisasi SPRI.
Bahasan diskusi hari ini dipandang sangat penting dan mendesak untuk
ditelaah secara serius dan mendalam dalam rangka mencari altenatif
solusi terhadap masalah pelik yang mendera kehidupan jurnalisme dalam
negeri beberapa tahun terakhir. Kematian wartawan Muhammad Yusuf di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Kotabaru, Kalimantan Selatan,
pada 10 Juni 2018 lalu menjadi titik krusial yang menjadi momok
menakutkan bagi kalangan pers di tanah air. Bagaimana tidak, rekomendasi
Dewan Pers yang mempersilahkan polisi memproses hukum almarhum Muhammad
Yusuf menggunakan pasal pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan
UU ITE menjadi bukti bahwa perlindungan para penghasil karya jurnalistik
di Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers tidak berjalan sama sekali.
Puluhan bahkan ratusan kasus kriminalisasi wartawan sedang berproses di
tangan para aparat hukum di hampir seluruh pelosok negeri. Umumnya,
kasus kriminalisasi tersebut dipicu oleh ketidak-nyamanan para pihak
tertentu yang merasa kepentingan (umumnya terkait bisnis dan kekuasaan)
terganggu oleh penerbitan berita di berbagai media massa. Kasus yang
paling menonjol adalah publikasi berita tentang korupsi pejabat disusul
tentang penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para pejabat
pemerintahan.
Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 UU Nomor 40 tahun 1999
semula diharapkan menjadi mediator yang menjembantani komunikasi dan
koordinasi antar kalangan media dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan
oleh pemberitaan, pada realitasnya justru tampil sebagai sosok penentu
kebenaran dan bahkan berfungsi bak aparat kepolisian yang dapat
menentukan sanksi hukum bagi pekerja pers. Kondisi ini yang akhirnya
memunculkan fenomena unik nan memilukan di kalangan jurnalis yang
dilukiskan dalam sebuah pernyataan: “Hanya di Indonesia, hasil karya
berpikir dianggap kriminal”.
Pesatnya perkembangan media massa berbasis teknologi informasi dalam
format media online menjadi pembuka ruang yang lebih luas bagi maraknya
kasus kriminalisasi wartawan. Berbagai kemudahan yang disajikan oleh
teknologi publikasi media online di satu sisi telah membuka peluang bagi
semua lapisan masyarakat untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme, baik
secara professional maupun sebagai hobi dan penunjang aktivitas
utamanya. Namun, di sisi lain kondisi ini telah membuat suasana
permedia-massaan dalam negeri seakan hilang kendali, melaju secara
serampangan, dan bahkan dikesankan liar. Hal ini terutama disebabkan
oleh ketidak-siapan masyarakat yang mencoba masuk menggeluti dunia
jurnalisme dengan modal kemampuan SDM-nya yang kurang memadai.
Sebenarnya, jika saja para pemangku kepentingan, terutama pihak
pemerintah, dari pusat hingga di daerah-daerah memahami persoalan
publikasi dan media massa dengan benar, kesemrawutan itu tidak perlu
terjadi, atau minimal tidak harus dirisaukan. Justru sebaliknya,
pemerintah dan pihak-pihak yang diamanahi mengelola kehidupan pers
Indonesia semestinya melihat potensi besar yang disediakan oleh system
publikasi berbasis media online dan variannya. Bukankah teknologi
informasi dengan produk utamanya internet, yang menyediakan ruang bagi
media online, merupakan landasan penting bagi mewujudnya era baru
bernama Industri 4.0?
Media online sewajarnya menjadi salah satu poros utama sebagai pendukung
dalam menciptakan produk-produk unggulan nan kreatif dan inovatif dalam
rangka mengisi era Industi 4.0 itu. Dunia media online yang segera akan
menutup sejarah media cetak merupakan ruang maha luas yang dapat
membuka lapangan kerja baru bagi ribuan, bahkan jutaan orang.
Peningkatan SDM rakyat Indonesia di bidang jurnalisme menjadi kunci
penting bagi perbaikan dan pengembangan publikasi yang mencerahkan,
mencerdaskan dan menginspirasi bangsa menuju pencapaian cita-cita
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada konteks itulah sebenarnya, lembaga semacam Dewan Pers dapat
memainkan peranannya, sebagai fasilitator pencapaian masyarakat yang
cerdas informasi, yang tidak hanya menjadi pemadam kebakaran bagi
pihak-pihak yang bertikai, namun lebih jauh menjadi akselerator bagi
peningkatan kecerdasan publik, baik kalangan pers maupun masyarakat
konsumen informasi media massa pada umumnya. Dewan Pers amat tidak
penting untuk mengatur
cara
berpikir dan berkreasi seseorang. Ia bukanlah mahluk yang diharapkan
menjadi hakim penentu baik-buruknya, benar-salahnya, dan/atau berguna
dan tidak-bergunanya sebuah karya jurnalistik seseorang. Dewan Pers
tidak diberi kewenangan untuk melakukan semua itu, karena memang amat
sangat tidak diperlukan di dalam sebuah masyarakat yang menganut sistim
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Oleh karena itu, adalah sebuah kenaifan jika kita melihat keberadaan
lembaga Dewan Pers sebagai sesuatu yang masih penting saat ini. Adalah
lebih naif lagi, jika Dewan Pers yang dalam berbagai kebijakannya justru
menginjak-injak hak demokrasi rakyat di negeri ini dibiarkan terus
melenggang melanjutkan lelakunya yang dapat disimpulkan bertujuan untuk
membunuh kemerdekaan pers. Membiarkan Dewan Pers terus ada sebagaimana
adanya saat ini merupakan wujud penghianatan terhadap semangat reformasi
yang dilandasi oleh keinginan mengimplementasikan kehidupan berbagsa,
bermasyarakat dan bernegara yang demokratis. (Tim)
Autentifikasi:
Wilson Lalengke (081371549165)
*Sekber Pers Indonesia*